Tuesday 27 September 2005

Impor Beras: Keterlaluan

Senin, 26 September 2005


ANALISIS EKONOMI

Impor Beras: Keterlaluan


Oleh: FAISAL BASRI

Menko Perekonomian kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial minggu lalu. Ia berujar, ”Saya katakan, impor beras itu betul-betul untuk kepentingan petani dan masyarakat lainnya, bukan untuk kepentingan bisnis. Itulah yang dilakukan pemerintah agar harga beras tidak terlalu tinggi ketika harga BBM dinaikkan” (Kompas, 22 September 2005, halaman 22). Pernyataan Menko itu dan keputusan pemerintah untuk mengimpor beras sebanyak 250.000 ton ini patut dipertanyakan dan disikapi dengan saksama.

Apa benar impor beras untuk kepentingan petani? Jelas tidak. Apa pun alasannya, apalagi dalam keadaan stok beras dalam negeri cukup memadai, mengimpor beras adalah kebijakan yang tidak bisa diterima akal sehat dan mengusik rasa keadilan. Kalau alasannya adalah untuk menjaga stok beras yang dikuasai oleh Bulog yang terus akan terkuras karena harus menyalurkan raskin (beras untuk rakyat miskin) sebanyak 180.000 ton setiap bulan, mengapa pemerintah tak membeli saja beras dari petani?

Pemerintah beralasan bahwa kalau cara tersebut yang ditempuh, maka harga akan melonjak. Kekhawatiran ini memang logis, tetapi bisa diredam seandainya pemerintah melakukan pembelian gabah kering panen atau gabah kering giling, ataupun beras di tingkat petani secara patut dan cerdas.

Katakanlah pemerintah lebih aktif turun ke hanya 100 kabupaten yang surplus beras, maka pembelian rata-rata di setiap kabupaten hanya setara dengan 2.500 ton beras.

Cara demikian diyakini tak akan membuat harga melambung.

Kalaupun, katakanlah, pemerintah membeli beras dengan harga Rp 4.000 per kilogram lalu menjualnya ke pasar dengan harga Rp 3.500 sesuai dengan harga ”toleransi”, maka subsidi sebesar Rp 500 akan jauh lebih bermanfaat ketimbang cadangan devisa kita yang sudah kian mengering dibelanjakan untuk impor beras.

Mengapa pemerintah sedemikian kikirnya, tak mau menyisihkan dana hanya sebesar Rp 125 miliar untuk membantu petani? Bukankah uang sebanyak itu tak ada artinya ketimbang subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang menyedot dana mendekati Rp 100 triliun?

Bukankah subsidi seperti itu jauh lebih kena sasaran ketimbang pemberian uang Rp 100.000 sebulan untuk keluarga miskin yang notabene paling banyak berada di pedesaan dan hidupnya bertopang pada sektor pertanian?

Bukankah subsidi ini juga dinikmati secara riil oleh masyarakat lainnya yang merupakan konsumen beras karena pemerintah menjual dengan harga yang lebih murah?

Bukti keberpihakan

Jika memang pemerintah memiliki niat baik dan konsekuen dengan janji-janjinya untuk menggulirkan program revitalisasi sektor pertanian, maka kini saat yang tepat bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuktikan keberpihakan yang nyata dan itu bukan hanya sebatas retorika kepada yang lemah.

Tindakan tersebut juga merupakan realisasi dan merealisasikan komitmen kuatnya sebagaimana kerap disampaikan pada berbagai kesempatan dan juga dituangkannya di dalam disertasi doktornya yang sangat memukau itu. Bapak Presiden, bukankah sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang diamalkan?

Kalau masyarakat sulit menemukan alasan logis di balik rencana pemerintah untuk mengimpor beras, maka logis jika muncul berbagai kabar ”tak sedap” yang menerpa rencana ini. Presedennya cukup banyak, beberapa di antaranya: Thailand telah ditetapkan sebagai negara asal impor, keputusan diambil oleh Wakil Presiden tanpa kehadiran Menteri Pertanian.

Bahkan ada kabar bahwa beras sudah dalam perjalanan ke Indonesia, rencana impor sebetulnya bukan hanya 250.000 ton, tetapi 800.000 ton. Data yang dikeluarkan berbagai instansi pemerintah tak sekadar berbeda, tetapi tidak sinkron satu sama lain. Preseden lain yang tak kalah mencurigakan adalah mengapa harga beras impor lebih mahal, mengapa tak dilakukan tender terbuka walau terbatas seperti pada kasus gula impor.

Ada pula alasan yang disampaikan pejabat Bulog, yang terkesan menakut-nakuti, bahwa nasib pemerintah sekarang ini bisa jadi sama dengan nasib dua pemerintahan kuat sebelumnya, terguling gara-gara kelangkaan beras di dalam negeri (Kompas, 24/9/2005, halaman 33.)

Ucapan di atas bernada menghasut dan sangat tak berdasar. Bukan saja pejabat itu, Bulog pun harus diwaspadai sebagai salah satu pihak yang paling bertanggung jawab atas munculnya rencana impor beras. Kita pun harus waspada terhadap pihak-pihak yang mungkin memanfaatkan Bulog untuk mencari keuntungan besar dalam sekejap.

Bukankah bukan rahasia umum lagi bahwa di masa lalu Bulog hanyalah tameng dari para pedagang yang sangat dekat dengan kekuasaan. Sampai-sampai ”Panji Koming” pun ikut menyindir, ”... Statusnya Wakil Adipati, tetapi ternyata fungsinya tetap saja tengkulak....” (Kompas, 25/9/2005, halaman 14). Agaknya tak adil untuk selalu berprasangka buruk kepada pemerintah.

Transparan

Bisa jadi ada beberapa alasan yang patut dipahami. Misalnya, pembelian beras di dalam negeri tak akan membantu atau menguntungkan petani jika sebagian besar stok beras di dalam negeri sudah dikuasai para pedagang. Mungkin masih ada alasan rasional yang lain.

Untuk itu, alangkah sangat baik seandainya proses perumusan kebijakan publik—seperti keputusan untuk mengimpor beras yang terakhir ini—dilakukan secara transparan dan disertai alasan-alasan yang rasional.

Sudah puluhan tahun sektor pertanian dijadikan tumbal industrialisasi. Potensinya diperah lewat kebijakan pangan murah dengan menggunakan pengendalian harga dan Bulog sebagai penyangganya.

Dengan harga pangan yang murah, rezim otoriter Orde Baru bisa menekan upah buruh sehingga menjadi salah satu daya tarik utama bagi pemodal domestik maupun asing menyemut di industri-industri padat karya yang pada umumnya berorientasi ekspor.

Industri-industri ini berdampingan dengan industri-industri substitusi impor yang ”jago kandang” dengan topangan proteksi tinggi dan gelimangan fasilitas, serta beragam kemudahan lainnya.

Hanya dengan mengebiri mekanisme pasarlah semua ini terjadi. Hanya dengan pengendalian pasarlah para pengusaha karbitan dan pengusaha kroni bisa merajalela. Hanya dengan tanpa persaingan sehat saja para pengusaha jago kandang dengan leluasa memburu rente dan ”merampok” daya beli masyarakat.

Ironisnya, justru mayoritas masyarakat itu adalah petani dan buruh. Sosok perekonomian yang dihasilkan dari proses yang sangat mendistorsi ini ialah industri yang rapuh, daya saing melorot, dan daya beli riil mayoritas penduduk tak terangkat. Dengan demikian, potensi kekuatan pasar domestik yang besar tak bisa menjadi penopang sektor industri. Secara tak langsung kita telah melakukan proses ”bunuh diri”.

Salah besar

Jadi, salah besar kalau ada yang mengatakan bahwa Orde Baru dibangun dengan kerangka neoliberal atau pemikiran pasar bebas sehingga (karena itu) menggiring perekonomian Indonesia ke jurang krisis. Namun, salah besar pula kalau lantas kita banting setir dengan beralih ke kutub ekstrem neoliberal ataupun pasar bebas.

Kita mendambakan suatu sistem pasar yang bermartabat, yang menjunjung tinggi sense of justice dan sense of equity. Dengan bertopang pada dua prinsip ini, mekanisme pasar dan demokrasi bisa berlangsung secara berdampingan serta berkelanjutan.

Kita sangat menyadari bahwa pasar bebas tak akan pernah berpihak kepada yang lemah. Karena kesadaran inilah kita justru wajib memberdayakan kelompok-kelompok yang lemah sehingga mereka tidak terjepit.

Petani harus diberdayakan dengan menjamin agar mereka bisa memperoleh input yang mencukupi dan semakin berkualitas serta dengan harga yang pantas. Di lain pihak mereka menikmati harga yang pantas pula atas produk-produk yang mereka hasilkan.

Jangan seperti sekarang, tatkala harga sedang berpihak kepada petani, yang sangat jarang terjadi, justru pemerintah merintangi petani untuk bisa menikmatinya.