Monday 8 August 2011

Media Indonesia - RI Butuh Lima Juta Hektare HTI

Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan Indonesia hanya membutuhkan lima juta hektare hutan tanaman industri (HTI) lagi untuk menjadi pemain utama industri pulp dan kertas dunia...[D]ia menyebutkan tahun ini pengadaan bahan baku kayu bulat diperkirakan mencapai 53,92 juta meter kubik dan yang sudah terealisasi 25,8 juta (40,5 persen). Itu untuk semua industri.[...]
Komentar: HTI itu milik industri. Industri dalam bentuk legal berkekuatan hukum dinamakan PT, PT (Tbk) alias korporasi dengan pemegang saham sebagai pemilik sekaligus 'penuntut' dividen. Dalam hal dividen (porsi keuntungan), manajemen ditugaskan untuk mencapai target keuntungan tertentu yang telah disetujui bersama pemegang saham. Disini manajemen diwakili oleh para direktur atau CEO (kepala bidang pelaksana). Tugas utama dan terpenting dari 'top' manajemen ini ialah memenuhi target keuntungan (profit) sesuai dengan cara-cara yang sudah ditentukan dan disetujui bersama pemegang saham.

Biasanya cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh untung jarang sekali mengikutkan perhitungan 'internalisasi-biaya' diproses akutansi mereka. Mengapa? sebab 'internalisasi-biaya' akan menyebabkan 'pembengkakkan' biaya yang selanjutnya menurunkan tingkat peruntungan (jangka-pendek), walaupun dalam jangka-panjang biasanya [bisa] meningkatkan nilai usaha mereka. Sebagai contoh: korporasi A akan berusaha sedapat mungkin untuk menghindar dari internalisasi 'biaya-produksi' proses fotosintesis oleh pohon dimana tanaman melepaskan gas oksigen yang dipakai secara gratis untuk membantu pernapasan para pekerja termasuk direktur/CEO dan tahapan selanjutnya menyerap gas karbon yang dikeluarkan oleh perusahaan tak terkecuali mobil direktur/CEO yang juga secara gratis.

Jadi intinya adalah: suatu korporasi/perusahaan akan selalu berusaha menghindar dari beban 'internalisasi' biaya produksi namun selalu berusaha untuk membebankan biaya 'internalisasi' proses produksi ini keluar, biasanya ke konsumen agar terjadi peningkatan laba. Singkatnya mengotori udara mau, tapi enggan membersihkankan polusi  karena butuh biaya tambahan(kecuali terpaksa) 'dipaksa' oleh regulator.

Dari gambaran ini kita dapat menyimpulkan kalau korporasi itu kurang bahkan tidak sensitif terhadap tempat tinggalnya mereka cenderung berkelakuan oportunistik jangka-pendek demi kepentingan dirinya sendiri(bila diumpamakan manusia maka ia manusia bertabiat egois) serta jarang mau berhitung pada tahapan jangka-panjang.
Punahnya spesis langka yang berumah-tinggal dihutan tersebut, bahkan kemungkinan lenyapnya organisme berharga lain-nya tanpa sempat ditemukan oleh ilmuwan karena habitat atau ekosistem tempat tinggal mereka telah rusak atau lenyap bukanlah prioritas pertimbangan keputusan mereka. Korporasi bila dilihat dari sisi kewajiban dan tanggung-jawab moral-etikal sangatlah dangkal dan terbatas. Namun dilihat dari sisi hak sangatlah luas. Itulah sedihnya. Quo vadis regulator ?