Tuesday 23 August 2011

Wimar Witoelar wawancara dengan Elfian Effendi (Greenomics Indonesia)

Kerusakan Alam Dalam Hitungan Ekonomi

Edisi 469 | 07 Mar 2005 |
Selamat bertemu kembali pembaca Perspektif Baru, bersama saya Wimar Witoelar.
Pada kesempatan ini kita akan melihat perspektif baru mengenai masalah-masalah di sektor pembangunan terutama di kehutanan dan pertambangan. Kita akan berbincang-bincang dengan Elfian Effendi, beliau adalah Direktur Greenomics Indonesia. Pertama kali bertemu Pak Elfian di suatu seminar dimana beliau memberikan suatu pandangan baru yang sangat berkesan pada saya. Walaupun seminar itu menghadirkan pakar-pakar ekonomi senior yang membahas satu sektor tertentu, tapi pada waktu Elfian bicara mengenai ekonomi lingkungan, saya jadi tergugah, terbangun dan ingin mengetahui lebih banyak mengenai topik ini.

Apakah pekerjaan anda yang menyangkut analisa ekonomi itu berbeda dengan analisa ekonomi seperti yang biasa dilakukan oleh banyak orang?
Greenomics Indonesia ini mempromosikan suatu konsep ekonomi hijau atau disebut dengan Green Economics. Jadi Green Economics ini filosofinya adalah economics of enough, yaitu suatu perekonomian yang mencerminkan suatu sisi kecukupan dari aspek efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam.

Kalau saya dengar kata "Enough" itu jadi teringat filmnya Jennifer Lopez. Tapi dalam hal ini, apa yang dimaksudkan dengan "Enough" atau kecukupan itu ?
Yang saya maksud dengan kecukupan misalnya daya dukung hutan alam kita ini sudah tidak bisa lagi dieksploitasi secara masif . Tingkat eksploitasinya dilihat dari tahun 1970 sampai tahun 1990 cukup tinggi. Dalam hal ini pemerintah harus segera membuat batasan-batasan pemanfaatan hutan alam pada tingkat yang sangat relevan dengan daya dukung ekologi kita. Sehingga pemerintah harus segera mendeklarasikan bahwa eksploitasi ini sudah cukup, sudah tidak boleh lagi ada eksploitasi dan hutan alam kita harus segera direhabilitasi.

Kalau begitu sama dengan konsep film Jennifer Lopez "Enough". Dia disiksa-siksa sampai akhirnya berteriak, it’s enough… Saya berontak… Tadi juga anda bilang, "Enough, sudah cukup alam kita disiksa". Jadi kira-kira begitu konsepnya?
Ya betul. Misalnya praktek penebangan liar hutan di Riau, Kalimantan. Dan sekarang praktek penebangan liar di Papua, yang saya pikir sudah berlangsung lama tapi pengungkapan yang sistematis baru dilakukan beberapa hari kemarin.
Di Riau, setiap akhir tahun, sekitar 80 kabupaten terendam banjir dalam skala besar karena hutannya sudah terlalu lama disiksa sehingga mereka marah. Padahal hutannya sudah bilang "Cukup.. Cukup… Jangan lagi", namun tetap saja dieksploitasi dan kebanyakan secara illegal. Termasuk juga di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, hutan produksinya dieksploitasi dengan luar biasa. Biaya ekonomi akibat banjir atau yang biasa disebut dengan externality (eksternalitas) yaitu biaya yang diakibatkan oleh bencana-bencana, biasanya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan ekonomi.

Kita mengenal masalah lingkungan sebagai masalah yang sangat fundamental bahkan suatu masalah moral yang mengandung tanggung jawab orang terhadap hidupnya sendiri dan terhadap dunia. Kemarin saya ikut acara bedah buku, dengan judul "Batas Nalar", di buku itu dikatakan bagian-bagian mana yang dibilang nalar, mana yang passion, mana yang rasio, mana yang emosi. Sekarang ini kelihatannya masalah lingkungan betul-betul sudah sangat tinggi tingkatnya, sehingga masalahnya menjadi emosi dan moral. Bagaimana hal-hal seperti ini diungkapkan melalui ilmu ekonomi? Apakah ilmu ekonomi bisa menunjukkan kejahatan terhadap lingkungan?
Ilmu ekonomi sebetulnya merupakan instrumen yang universal, karena ilmu ekonomi selalu berkaitan dengan aspek uang. Semua orang kenal uang dan membutuhkannya. Sehingga kerugian-kerugian akibat kerusakan lingkungan ini, jika kita ukur dengan uang akan menjadi menarik bagi para pihak terutama pengambil keputusan dan masyarakat itu sendiri. Sejauh ini pemerintah jarang sekali memperkenalkan kerugian di lingkungan dalam bentuk uang. Ini permasalahannya. Dan Greenomics adalah sebuah lembaga yang mempromosikan kerugian lingkungan kita dalam bentuk uang.

Tadi anda katakan adanya kerugian dari segi uang. Kalau mengalami kerugian, orang pasti tahu. Lalu Mengapa harus anda yang tunjukkan kerugiannya? Kenapa orang-orang itu tidak tahu adanya kerugian?
Saya pikir pemerintah dalam beberapa komponen sudah tahu. Hanya saja jika pemerintah yang menyampaikan, mereka menganggap policy atau kebijakan yang mereka keluarkan akan tidak efektif dan merugikan keuangan masyarakat. Tapi yang perlu kami garis bawahi, sampai sekarang belum ada standar baku di pemerintahan misalnya Kementerian Negara Lingkungan Hidup atau Departemen Kehutanan, dalam menghitung berapa kerugian-kerugian ekologi yang dimunculkan akibat eksploitasi berdasarkan keputusan yang mereka keluarkan. Ini juga sangat di sayangkan. Sebuah studi di World Resource Institute memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia turun hingga 40- 60%, kalau dihitung berdasarkan kerugian uang yang timbul dari sektor lingkungan.

Untuk saya yang awam sangat mengherankan, sebab saya pikir lingkungan terpaksa dirusak demi kesejahteraan, demi keuntungan uang tapi menurut anda pengrusakan itu adalah kerugian. Saya ambil contoh, misalnya orang bicara soal sektor pertambangan. Industri pertambangan bilang jika keuntungan perusahaan maju, rakyat sekitar juga turut maju. Tapi menurut anda sebetulnya tidak lengkap kalau dibilang maju, justru rugi. Dimana beda perhitungannya?
Perhitungan yang dibuat oleh industri pertambangan adalah perhitungan angka nominal, uang nominal, misalnya Rp. 10 Triliun, sekian triliun dan sebagainya. Namun tanpa memperhitungkan kerugian yang dialami masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pertambangan, yang harus minum air yang sudah terkontaminasi, tailing yang dibuang ke laut, yang menyebabkan ikan mati sehingga menurunkan produksi masyarakat dan sebagainya. Hal semacam ini tidak masuk dalam hitungan mereka, tidak termasuk dalam struktur biaya dan keuntungan dari perusahaan itu.

Jadi biar saja yang memikul kerugian itu penduduk setempat yang tidak termasuk dalam perhitungan untung rugi perusahaan?
Iya

Sekarang kita masuk dalam konteks daerah. Saya baca di koran ada liputan di suatu media mengenai pendapat anda yaitu "Daya Dukung Ekologi Aceh Makin Menurun". Ketika saya baca, saya pikir ini menarik sekali, tapi ketika lihat tanggalnya 24 September 2004, sebelum terjadinya bencana Tsunami. Kalau sekarang, apakah ada aspek ekologi akibat bencana tsunami di Aceh?
Ini bisa menjadi sangat kritis. Sebetulnya pada proses rekonstruksi di Aceh yang harus dipahami oleh Presiden, Bakornas atau pemimpin-pemimpin di Aceh. Jangan sampai proses rekonstruksi di hilir, misalnya di daerah pesisir atau dekat pesisir tidak mengindahkan aspek-aspek yang harus kita perhatikan di hulu, misalnya Daerah Aliran Sungai (DAS). Jangan sampai kita memindahkan masyarakat pesisir ke dekat Daerah Aliran Sungai (DAS) atau di dalam kawasan lindung, hal ini akan menimbulkan datangnya lagi banjir dari hulu atau gunung dan penduduk yang dipindahkan akan terkena bencana lagi. Sehingga akan terjadi double disaster (bencana ganda). Yang pertama adalah bencana yang terjadi karena memang kehendak Tuhan, yang kedua adalah Man Made Disaster yaitu bencana yang kita buat sendiri dan membuat masyarakat Aceh kembali menderita. Airnya sama, yang pertama dari laut, yang kedua air dari gunung yang kita ciptakan sendiri.

Sekarang kita bicara mengenai Greennomics. Pertama kali saya dengar, saya kira Greenomics itu kantor pusatnya di Seattle atau di Washington dan ada cabangnya di Indonesia. Barangkali anda bisa cerita sedikit mengenai Greenomics?
Greenomics didirikan pada tanggal 14 Desember 1996 di sebuah kota kecil di Aceh Selatan. Ketika itu saya bekerja sebagai staf lapangan di World Wide Fund For Nature (WWF) sebagai analis ekonomi lingkungan. Ketika itu saya merasakan, jangankan di tingkat daerah, di tingkat nasional saja pemahaman terhadap kerugian ekologi yang harus dihitung dengan nilai uang sangat terbatas. Sehingga sebagai analis, saya membuat riset khusus untuk mengetahui berapa persen eksploitasi hutan di Aceh Selatan yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah sekitar 96%. Walaupun gelar saya S1 tapi saya mendapatkan banyak referensi, bantuan dari kolega-kolega Internasional dan ini sangat membantu. Waktu itu saya kirim hasil riset tersebut ke World Research Institute. Mereka balas surat saya dengan menyebut "Dear Elfian Effendi PhD….." Ha.. ha.. ha… Setelah dapat surat itu saya jadi kurang bernafsu lagi ambil Doktor..

Mesti disimpan ya suratnya.
Akhirnya saya pikir lebih baik saya membuat suatu lembaga yang memang mempromosikan pemahaman tentang kerugian ekologi yang harus dihitung dengan uang. Namun ide itu sempat terhenti, karena kemudian saya bekerja di USAID untuk The Natural Resources Management, juga sebagai analis ekonomi selama 4 tahun. Di situ saya banyak mendapat pelajaran dan pengalaman baru dari teman-teman internasional. Setelah itu saya pikir sudah waktunya bagi saya untuk melanjutkan kembali ide lembaga Greenomics yang kami buat pada tahun 1996. Jadi sekitar akhir tahun 2001 saya melanjutkan lagi Greenomics dan ketika itu Nabiel Makarim meminta saya menjadi staf ahli khusus. Tapi hanya beberapa bulan karena ternyata ada beberapa sisi yang tidak cocok terutama untuk kasus pertambangan.

Dalam pekerjaan yang anda jalani sekarang apakah anda merasa punya dampak pada pemikiran orang? Apakah pemikiran orang di Indonesia mengalami kemajuan dalam aspek ekonomi lingkungan?
Ada beberapa efektivitas dari hadirnya Greenomics. Yang pertama, misalnya untuk sektor pertambangan, Greenomics menjadi salah satu advokator utama untuk menghitung berapa kerugian pertambangan di hutan lindung. Hasil perhitungan Greenomics ini masuk dalam dokumen materi Judicial Review untuk Perpu I tahun 2004 dan digunakan resmi oleh teman-teman organisasi non pemerintah secara nasional. Perhitungan kita ini juga diakui kevaliditasannya oleh Menteri Kehutanan, ketika itu Bapak Prakosa, yang menolak pertambangan di hutan lindung. Tetapi karena aspek politis kita tidak tahu efek yang keluar. Yang kedua adalah Greenomics, Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Departemen Kehutanan (Dephut) membuat sebuah MOU (Memorandum of Understanding) tentang pemberantasan KKN di Departemen Kehutanan. Salah satu hasilnya adalah kita berhasil mengembalikan uang negara tidak kurang dari Rp. 1,1 Triliun.

Bagaimana caranya? Barangkali anda bisa sedikit elaborasi soal itu?
Pada mulanya Dephut memiliki niat yang cukup baik untuk memberantas praktek KKN. Karena semua orang tahu departemen ini merupakan ladang basah untuk korupsi. Kemudian Dephut mendiskusikan hal ini dengan Greenomics dan mereka juga meminta ICW, jika berkenan, untuk membantu, karena ICW selama ini dikenal tidak mau sembarangan dan mereka juga sangat kredibel. Setelah melalui beberapa penaksiran dan diskusi, ICW memutuskan untuk ikut membantu.
Maka pada tanggal tanggal 18 Desember 2003 kita membuat MOU dan tidak sampai 6 bulan kita sudah memperluas item MOU sampai ke seluruh kegiatan inti Dephut. Sehingga pada saat itu sudah mulai banyak progress yang baik, diantaranya ditemukan banyak pengusaha yang menunggak dana reboisasi dengan kerugian sekitar Rp. 1,23 Triliun. Dengan bantuan teman-teman pers, kami umumkan ke publik siapa penunggaknya. Tentu dengan resiko yang besar dan resiko nyawa juga, tapi itu tidak apa-apa, masalah Lillahi Ta’ala saja, karena kalau kita bekerja terlalu banyak pikir-pikir, tidak akan bisa menghasilkan apa-apa.

Ini berkaitan dengan cerita anda yang saya baca di koran bulan November 2004, mengenai Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN). Anda menyatakan gerakan tersebut lumayan bagus tapi anda tidak terlalu yakin. Baru-baru ini Presiden menegaskan "Enough"!! Sekarang tidak main-main lagi. Kita tangkap pelaku illegal logging. Menurut anda itu sesuatu terobosan atau bagaimana?
Saya pikir ini sebuah niat baik, tapi saya tidak yakin. Seharusnya penegasan ini sudah dilakukan sejak 100 hari pertama pemerintahan SBY. Sebenarnya pada 100 hari pertama, kami sudah sampaikan kepada Menteri Kehutanan untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (Perpu) Anti Illegal Logging karena sistem peradilan kita yang terlalu lama. Ketika itu Menteri Kehutanan tetap bersikukuh untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres). Saya sampaikan juga bahwa ketika masa pemerintahan Gus Dur, kita pernah membuat Inpres penanganan illegal logging di Taman Nasional Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting. Namanya juga Inpres, tentu efektivitas sistem peradilannya masih harus menggunakan sistem peradilan yang lama, tidak bisa membuat peradilan Ad Hock [sic] dan sebagainya. Jadi pelajaran regulasi yang kita peroleh dari pemerintahan Gus Dur, harus disempurnakan lagi dalam bentuk sebuah Perpu. Perpu ini akan memungkinkan pemerintah segera membuat peradilan Ad Hock dan bisa menangkap pelaku illegal logging dengan tidak membutuhkan bukti yang terlalu detail sehingga bisa langsung bisa tangkap.
Saya pikir niat baik ini akan menjadi sempurna kalau Presiden segera mengeluarkan Perpu Anti Illegal Logging. Jika instrumennya masih Inpres, saya khawatir nantinya akan lebih banyak kompromi dan akan bekerja hanya bila diungkapkan oleh teman-teman pers dan dilupakan jika tidak diberitakan.

Mengenai pemikiran-pemikiran anda, apakah ada harapan untuk dilembagakan dalam kurikulum ekonomi atau lembaga-lembaga tertentu, selain perjuangan lepas seperti yang anda lakukan sekarang?
Sebetulnya beberapa universitas sudah memiliki kurikulum ilmu ekonomi lingkungan. Hanya saja kelemahan teman-teman kita di kampus adalah terbatasnya empirical exercise di lapangan dan bersentuhan langsung dengan policy content sehingga materi-materi yang disampaikan sering out of date dan juga ilmu-ilmu yang dipelajari terlalu teoritis. Padahal di luar sana tidak perlu ada sebuah sistem ekonomi dengan model yang sangat luar biasa, sebuah perhitungan stastistik yang mendalam, itu tidak perlu. Cukup hanya beberapa hal penting saja yang perlu disampaikan. Sehingga kadang-kadang Greenomics susah melakukan ekspansi karena masalah keterbatasan sumber daya manusia Indonesia sendiri.

Maksudnya ekspansi itu untuk memperluas usaha anda dan maksud dari kurang sumber daya adalah kurangnya orang untuk mengerjakannya? Apakah tidak bisa diwaralabakan dengan membuat satu kelompok lalu diajarkan. Belum bisa sampai ke situ?
Greenomics walaupun memang sebuah organisasi non pemerintah teknis yang berbasis di Indonesia, namun kita selalu menggunakan standar internasional. Referensi-referensi kita selalu yang terbaru dan studi kita yang lakukan harus di-review oleh tingkat internasional
Apakah anda berkenan menjawab pertanyaan pembaca mengenai topik yang kita bahas ini? Karena biasanya suka ada yang tanya.
Bisa melalui email di elfian@greenomics.org atau buka webnya di www.greenomics.org. Banyak teman-teman dari seluruh Indonesia yang bertanya mengenai studi ekonomi lingkungan, advokasi ke Pemda dan sebagainya. Bersama teman-teman di Greenomics, kami sering membantu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kalau ada topik yang menarik biasanya kita tindak lanjuti sendiri. Banyak teman-teman di Greenomics yang bekerja sukarela, kadang-kadang dalam 1 tahun, 8 bulan tidak punya gaji .Tapi karena ini sebuah gagasan bagus yang harus kita dorong maka kita tetap semangat menjalankannya. Tapi saya senang karena banyak didukung oleh tokoh-tokoh misalnya Mas Teten Masduki dari ICW, Mas Wimar Witoelar

Bukan tokoh tapi bantu saja ha.. ha.. ha.. buat pembaca yang ingin tahu lebih banyak mengenai Greenomics atau topic yang kita bahas silahkan kirim email ke Pak Elfian atau buka web Greenomics atau bisa menghubungi Yayasan Perspektif Baru melalui telp di (021) 72790028 atau Fax di (021) 722 9994. Terima kasih.

Sumber: http://www.perspektifbaru.com/wawancara/469/