Friday 23 September 2011

PENGENDALIAN BANJIR JAKARTA KINI DAN 1500 TAHUN SILAM

Banjir Jakarta 2007
Banjir Jakarta 2007
BANJIR menjadi berita yang selalu muncul diberbagai media di musim hujan pada wilayah Jakarta. Siklus banjir 5 tahunan yang sangat dahsyat dan merugikan hingga kini masih jauh dari teratasi. Banjir tahunan luapan sungai Ciliwung yang langganan merendam ibu kota pun selalu menjadi PR-nya gubernur DKI, yang tak pernah tuntas. Telah lebih dari 5 gubernur memimpin Jakarta, belun juga ada upaya yang dapat dikategorikan serius dalam menangani permasalahan banjir. Lihat saja Desember 2009 mendatang, di berbagai media pasti akan meletakkan pemberitaan seputar banjir ….. kapan berakhir ?
Master Plan BKT
Master Plan BKT
Banyak ide para ahli di tanah air ini dalam beretorika membicarakan permasalahan banjir. Akademisi, pejabat dan pengamat senantiasa diskusi dan diwawancarai ketika “event” banjir menggelandang “habitat” pemukiman penduduk. Mereka sadar betul dan paham benar apa penyebab dan apa akibat banjir, serta bagaimana cara mengatasi / mengantisipasi mencegah banjir. Lalu …. bagaimana implementasi pengetahuan mereka itu ?

Semua orang awampun tahu, bahwa banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi (presipitasi), pemerhati lingkungan melihat banyaknya areal hutan yang gundul menjadi satu penyebabnya. Ahli sanitasi dan tata kota membicarakan bantaran kali yang jadi tempat pembuangan sampah sehingga terjadi pendangkalan dan terhambatnya aliran sungai oleh bangunan liar ditepinya. Daya resap kota terhadap curah hujan kecil akibat bangunan-bangunan membuang air hujan limpahannya ke jalanan, sehingga kota bagaikan bak mandi penampung air dikala hujan.
            
Selain penyebab banjir, akibat yang harus ditanggung rakyat karena banjir, hampir tidak ada orang yang tidak mengetahuinya. Pertama-tama korban nyawa pasti terjadi dalam setiap bencana banjir besar. Berapa kerugian korban nyawa jika di angkakan ? Bisakah dikuantifikasikan ? Pada peristiwa banjir Jakarta Februari 2007, hampir 60% wilayah Jakarta terendam banjir. Sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas dan kerugian material akibat terhentinya perputaran bisnis ditaksir 4,3 trilyun rupiah serta warga yang mengungsi karena rumahnya terendam 320.000 orang. Kerugian itu belum menghitung rusaknya rumah dan infrastruktur yang langsung terkena dampak banjir.
          
Pekerjaan BKT 2009
Pekerjaan BKT 2009
Pemerintah dan para ahli bukannya tidak tahu bagaimana cara mengatasi banjir, bukan pula tidak ada dana jika serius (concern) mau melakukannya. Upaya mengatasi banjir Jakarta (dulu Batavia) sudah sejak lama di zaman pemerintahan kolonial. Pembangunan Banjir Kanal Barat (Kali Malang) dilaksanakan tahun 1922 berawal dari daerah Manggarai ke arah barat melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah barat laut di daerah Karet Kubur. Selanjutnya ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan, dan berakhir di sebuah reservoar di muara, di daerah Pluit.

Dengan bantuan Netherlands Engineering Consultants, tersusunlah “Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta” pada Desember 1973. Berdasarkan rencana induk ini, seperti yang ditulis Soehoed dalam Membenahi Tata Air Jabotabek, pengendalian banjir di Jakarta akan bertumpu pada dua terusan yang melingkari sebagian besar wilayah kota. Setelah terjadi banjir di wilayah Jakarta Barat pada Januari 1979, pemerintah pusat bersama Pemerintah Daerah DKI Jakarta mencari jalan pemecahan untuk mengurangi potensi terjadinya genangan pada masa yang akan datang. Rencana perluasan BKB pun diganti dengan pembuatan jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng. Saluran banjir Cengkareng selesai dibuat pada tahun 1983. (Wikipedia)            

Untuk mengatasi banjir akibat hujan lokal dan aliran dari hulu di Jakarta bagian timur dibangun Banjir Kanal Timur (BKT). Sama seperti BKB, BKT mengacu pada rencana induk yang kemudian dilengkapi “The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta” tahun 1991, serta “The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek” pada Maret 1997. Keduanya dibuat oleh Japan International Cooperation Agency.

Pada prakteknya, pembuatan kanal yang sudah direncanakan lebih dari 30 tahun lalu itu menghadapi pembebasan tanah yang berjalan alot. Pembangunannya menjadi lambat. Rencana tersebut tidak kunjung selesai direalisasikan, dan banjir seperti yang kini dirasakan warga Jakarta menjadi kenyataan setiap tahun.

Prasasti TUGU
Prasasti TUGU
Seribu lima ratus tahun silam di abad ke 5 masehi kita bisa belajar dari leluhur bangsa bagaimana mengatasi banjir. Bukti prasasti TUGU peninggalan raja Purnawarman jelas menyingkap bagaimana pemimpin melakukan tugasnya untuk kemaslahatan rakyatnya. Cermati isi dan bunyi prasasti berikut:  
“pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau// pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana// prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadiramya gomati nirmalodaka// pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina”.
Terjemahan : 

“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”
Gamblang sekali prasasti TUGU diperhadapkan kepada kita seolah menyodorkan fakta bagaimana seharusnya pemimpin bertindak tanggap trengginas cepat dan terus-menerus mengupayakan mengghindarkan rakyatnya dari bencana banjir dan demi kemakmuran. Tercatat dua kali pekerjaan berskala raksasa untuk ukuran zaman itu, raja Purnawarman mengatasi banjir sungai Candrabhaga dan sungai Gomati. Terinci pula secara tepat dimulai dan berakhirnya pekerjaan penggalian, serta bagaimana sang raja mendanai dan menitahkan agar segenap kekuatan rakyat bersama berusaha mengatasi permasalahan banjir yang juga melanda istana Purnawarman kala itu, tanpa ada yang dirugikan dan dikorbankan. Profesor Poerbatjaraka mengidentifikasi sungai Candrabhaga yang disebut dalam prasasti TUGU dengan sungai Bekasi sekarang (masih wilayah sekitar Jakarta Utara=kecamatan Koja) Jika dugaan Peorbatjaraka ini benar, maka masalah banjir Jakarta sebenarnya telah ada sejak 1500 tahun silam dan telah pula pernah tuntas diatasi. Pada prasasti Tarumanegara lainnya diperoleh keterangan bahwa penggalian ke dua sungai yang ditulis pada prasasti TUGU, juga diperuntukkan tidak hanya untuk mencegah banjir tetapi juga untuk pengairan sawah dan transportasi. Pujian tertulis pada prasasti TUGU kiranya memberi gambaran bahwa pemimpin ketika itu kuat, disegani, pandai, bijak dan mengarahkan pembangunannya untuk rakyat.

Sumber: http://awidyarso65.wordpress.com/2009/08/28/pengendalian-banjir-jakarta-kini-dan-1500-tahun-silam/#comment-626