Sunday 11 March 2012

Kisah Paris Sembiring, Peraih Kalpataru 2003

"...bukan masalah menanam ribuan atau jutaan pohon tapi satu pohon pun kalau tumbuh itu [lebih] bermanfaat."
- Paris Sembiring

Berawal dari Beca, Kini Sumbang Jutaan Pohon

Kisah Paris Sembiring, Peraih Kalpataru 2003
Paris Sembiring (51), meraih Kalpataru 2003, kategori Lingkungan Hidup yang diterima dari negara. Penghargaan tertinggi yang diserahkan Presiden Republik Indonesia ini, tak pernah dicita-citakannya. Tetapi datang sendiri setelah berdedikasi membantu menyelamatkan lingkungan, selama puluhan tahun.

kalpataru-paris
 [ketgambar] KALPATARU: Paris Sembiring memegang Piala Kalpataru di depan rumahnya, Jalan Pijer Podi No 26 Medan, kemarin (15/11).//jabalos / sumut pos[/ketgambar]Add caption
Jabalos Simbolon, Medan
”Bumi ini adalah rumah kita, jadi harus kita jaga dan rawat. Agar kelak tetap baik kita wariskan kepada anak cucu.” Kalimat inilah sebagai pedoman hidup Paris Sembiring, saat ini. Wartawan Sumut Pos, beranjang sana ke rumah Paris, Minggu (15/11) dan ngobrol santai di teras rumahnya, setelah janjian ketemu sepulang beribadah.

Di halaman rumahnya, ada puluhan pot adenium, bunga aglonema, anturium, cikas dan beberapa jenis keladi. Mobilnya juga ada di parkir. Ukuran rumah itu tergolong besar di Jalan Pijer Podi, yang sepanjang tahun tetap saja jalan itu rusak dan becek. 

Di dalam rumah, foto-foto penting seperti bertemu Presiden RI, para menteri, duta besar negara lain dan petinggi negeri ini ada semua di rumah Paris. Piala Kalpataru 2003 dan puluhan penghargaan lainnya, juga ditata di lemari. Semua itu tidak jatuh dari langit. Tetapi perjalanan hidup Paris Sembiring, yang hanya tamat SD itu mencurahkan perhatiannya untuk penyelamatan lingkungan.   
Tahun 1976, Paris mulai mengayuh beca di Kota Medan dan biasa mangkal di Pringgan, sepanjang Jalan Iskandar Muda, kompleks USU dan sesekali di Jalan Sudirman. Ketika itu ia sudah berusia 18 tahun dan belum menikah, serta menumpang di rumah orangtuanya di Simpang Pos. Saban hari, walau hujan dan terik ia harus mengayuh beca sewaannya untuk menyambung hidup. Lelah menarik beca sambil menunggu penumpang, Paris tidur-tiduran di atas becanya di bawah pohon rindang. 

Persisnya di depan Gedung Wanita Karo, Jalan Iskandar Muda, buah mahoni yang sudah matang jatuh ke muka Paris saat tidur di atas beca. Saat itu, tergerak hatinya untuk menanam biji buah mahoni itu, lalu dibawa ke rumah. “Pohon mahoni besar itu sudah memberiku keteduhan saat tidur siang. Jadi tergerak hatiku membibitkan bijinya dan menanamnya,” kisah Paris.

Ia pun mulai membuat persemaian. Selain bibit mahoni dan pohon penghijauan, ia sudah membibitkan jambu, mangga dan tanaman bua lainnya. Sambil mendayung beca, ia menyisihkan pendapatannya membeli polybag. Waktu itu, ongkos beca dari Pringgan ke Kantor Gubernur sekira Rp50 dan sewa beca Rp200. Harga sekali makan (menurut Paris sudah enak) waktu itu Rp50. Pendapatan terbaik yang pernah diperoleh Paris selama mendayung beca, sebesar Rp800 mulai pagi hingga malam. Itupun hanya sekali. 

Wartawan koran mencoba memperjelas pendapatan terbaik Rp800 itu, bukan karena ada penumpang yang memberi ongkos lebih. “Itu dari 16 penumpang,” kata Paris. Karena sudah mengurus bibit, Paris merasa menemukan keseimbangan dan harmoni hidup. 

Tahun 1978, Paris berhenti mendayung beca. Ceritanya, dua penumpangnya (ibu dan anak) jatuh ke Sungai Babura persisnya di dekat jembatan Jalan Zainul Arifin, dekat Cambridge sekarang. Penumpangnya naik dari Jalan Abdullah Lubis menuju Kampung Keling (kini Kampung  Madras, Red). “Ada 20 meter becak dan penumpangku terguling ke sungai. Mereka kesakitan,” katanya.    
    
Paris mengangkat penumpang anak itu dan berniat membawanya berobat. Tetapi ibunya anak itu melarang. “Sudah kubikin jatuh, malah aku diberi uang, dan disuruh pergi. Kalau kubawa anaknya ke rumah sakit, bisa-bisa saya dipukuli suaminya, kata ibu itu. Saya pun pergi,” tuturnya dan membengkelkan beca sewaan itu dengan kerugian Rp1.600. Sejak itu, Paris berhenti mendayung beca. 

Bersama orangtuanya, ia membuka warung kopi di Simpang Pos. Di tanah kosong 4.000 meter di belakang rumah sewaan itu, Paris mengelola pembibitan berbagai jenis tanaman. Tahun 1981, Dinas Pertanian Kota Medan membeli bibit itu. Saat itu, kepala dinasnya Arista Siregar.
Karena laku dan menghasilkan uang, Paris semakin giat menyemai bibit pohon dan buah-buahan. Penjualan bibit pohon dan buah-buahan kian hari makin lancar saja. “Banyak sekali untungnya, kalau dibandingkan dengan modalnya,” katanya. Paris pun bertemu dengan pujaan hatinya 
Tahun 1986, Paris Sembiring diikutkan dalam Pekan Nasional Kelompok Tani di Kabupaten Simalungun yang dihadiri Presiden Soeharto dan menteri-menteri. Ia pun semakin mantap untuk memproduksi bibit penghijauan dan buah, dalam jumlah besar. Lalu di tahun yang sama, Paris membeli lahan di Desa Lango Seprang, Kecamatan Tanjung Morawa seluas 4 hektar. Tanah itu dijadikan lokasi persemaian. “Semangat saya pun makin tinggi. Ada bibit yang dijual, ada yang dibagi-bagi untuk penghijauan,” katanya.

Sejak itu, nama Paris terkenal di kalangan konservator, penggiat lingkungan, instansi pertanian, kehutanan dan lingkungan hidup, gereja, di kalangan tokoh agama, pemuda dan pelajar. Ia pun sering diundang memberi pelatihan kader lingkungan, membuat persemaian hingga ke seminar-seminar berkelas. Paris yang putus sekolah dari bangku kelas II SMP Masehi duduk bersama para profesor pertanian sebagai narasumber. Perjalanannya semakin sibuk ke berbagai daerah di Indonesia, aktivitasnya padat dan pekerjaannya didedikasikan untuk lingkungan dan masyarakat sosial.

Singkatnya, awal tahun 2003 namanya diusulkan untuk meraih Kalpataru. Setelah melalui penilaian ketat para juri dari Kementerian Lingkungan Hidup, Paris Sembiring menerima Kalpataru tetapnya pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2003, bulan Juni.
Perhargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup di Indonesia itu, tidak membuatnya puas. Tanggungjawab moralnya justru semakin besar. Juni 2004, ia mendirikan Bank Pohon Sumatera Utara di lahan 1 hektar di Jalan Jamin Ginting Km 15,5 Medan. Waktu bergulir, hari-harinya melatih kader lingkungan, membuat persemaian pohon, motivator dan mengisi seminar.

Tahun 2006, Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sumatera meminta Paris sebagai fasilitator pendirian bank pohon. Sehingga terbentuklah bank pohon di Solok dan Padang Panjang, Sumatera Barat, Lampung, Palembang (Sumsel), Bengkulu, Bangka Belitung, NAD, Jambi, Tanjung Pinang (Kepri), Pekanbaru (Riau), Kabupaten Karo. Dan rencananya bank pohon akan diresmikan di Haunatas, Kabupaten Toba Samosir pada 30 November mendatang.

“Kebahagiaan batin dan berbuat untuk menyelamatkan lingkungan lebih menyenangkan daripada memikirkan harta benda. Lihat itu mobil saya, tetap yang bekas-bekas. Kalau berpikiran berbisnis dari bibit ini, bukannya tak bisa mendapatkan limousin,” kata Paris.

Berbagai penghargaan sudah ia raih. Tahun 2008 lalu, ia juara I nasional dalam Kejuaraan Konservasi Alam yang diadakan Departemen Kehutanan, dan berhak mendapat pin emas. Ada 45 piagam di rumahnya. “Kuncinya, asal mau saja penarik beca pun tidak tertutup kesempatannya berjasa untuk lingkungan. Kita harus pikirkan, karena pohon-pohon itu kita bisa bernafas. Mari kita sama-sama menanam, minimal satu pohon satu orang,” katanya.

Salah satu kader lingkungan yang ia bina, sudah meraih Kalpataru. Namanya Marandus Sirait yang mendirikan dan mengelola Taman Eden ‘100’ di Kecamatan Lumban Julu, Toba Samosir.
Bagaimana dengan dukungan keluarganya atas pengabdian Paris terhadap masa depan lingkungan? Paris mengatakan, keluarganya terus mendukung. Lima anaknya disekolahkan ke perguruan tinggi. Karena tersitanya waktu Paris Sembiring ke berbagai kegiatan, bunga adenium di depan rumahnya mulai kurang ’perhatian’. “Sebentar lagi, bunga ini mungkin marah karena kurang diurus,” ujar Paris, pria 51 tahun bercanda. (*)