Friday 6 July 2012

Resensi Buku* : Negara Centeng - Penulis: I. Wibowo

[Buku] Judul Buku: Negara Centeng Penulis: I. Wibowo Penerbit: Kanisius, Jogjakarta Tahun: I, 2010 Tebal: viii dan 270 halaman.

JUDUL buku ini amat provokatif: Negara Centeng! Bagaimana eksistensi negara di tengah pusaran globalisasi menjadi fokus buku ini. Mengandalkan pendekatan struktural, analisis ekonomi dan politik ditangani bersamaan, tidak terpisah. Negara centeng merupakan metafora yang bermakna pelindung bayaran dari sekelompok kecil saudagar, nasional, maupun global (hlm 7). Di mana kedudukan negara centeng di antara literatur tentang negara? Arief Budiman (1996) membagi teori negara menjadi dua kelompok besar. Pertama, teori yang menekankan negara sebuah lembaga mandiri, yang punya kepentingan dan kemauan sendiri. Kedua, teori yang mengatakan negara bukan lembaga mandiri. Negara hanya arena bagi kekuatan-kekuatan sosial bertarung untuk saling menguasai.

Pada kelompok kedua itu, terdapat dua varian. Pertama, kaum pluralis yang menganggap negara hanya melaksanakan kepentingan yang beraneka ragam di masyarakat. Dalam cara pandang tersebut, kebijakan negara merupakan hasil kompromi dari kekuatan-kekuatan sosial itu. Kedua, varian kaum Marxis, yang mengatakan negara dikendalikan kelompok paling dominan, yakni kaum kapitalis. Negara centeng termasuk varian Marxis dari kelompok teori kedua. Menurut saya, negara centeng mirip gagasan negara panitia borjuisnya Karl Marx. Bedanya, negara centeng tidak otonom. Negara centeng sama sekali dikuasai kaum saudagar, terutama saudagar global. Dengan demikian, konsep negara centeng cenderung bersifat determinis. Para penyokong globalisasi meyakini kemakmuran masyarakat terwujud bila mekanisme pasar menjadi satu-satunya aturan main dalam perekonomian. Peran negara harus dibatasi pada tiga tugas pokok: menyediakan infrastruktur, menjamin penegakan hukum, dan keamanan.

Lima kata kunci bagi pemerintah adalah pasar bebas, perdagangan bebas, pajak yang rendah, deregulasi, dan privatisasi (hlm 53). Ajaran bahwa pasar harus bebas di mana-mana dengan menggunduli peran negara itulah yang menjelma menjadi ajaran ”neoliberalisme”. Ekonom yang haluannya berseberangan telah membantah kisah sukses globalisasi dan neoliberalisme (Chang & Grabel, 2004). Perusahaan multinasional atau multinational corporations (MNC), lembaga keuangan internasional (IMF, World Bank, dan WTO), dan pemerintah negara-negara maju merupakan pendukung utama globalisasi. Verja sama ”segi tiga” antara pemerintah negara maju, lembaga keuangan internasional, dan MNC menekan pemerintah di negara (berkembang) membuka akses pasarnya. Biasanya, lembaga keuangan internasional memberikan pinjaman dengan imbalan pemerintah negara bersangkutan membuat kebijakan membuka akses pasar domestiknya. Pada kasus Indonesia, IMF menuntut ”structural adjustment programme”, yakni program yang ditimpakan pada negara pengutang untuk menjalankan tiga hal: liberalisasi pasar, privatisasi, dan deregulasi (hlm 47). Kekuatan saudagar global tidak bisa dipandang enteng. Pada 1983 lima bank sentral (Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris, dan Swiss) digabung untuk menguasai cadangan devisa USD 139 miliar, sedangkan kekuatan pasar uang cuma USD 39 miliar. Tetapi, pada 1986 keduanya telah mencapai titik seimbang dan 1992 kekuatannya telah bergeser. Lima bank sentral hanya memiliki cadangan devisa USD 278 miliar, sedangkan di pasar uang beredar USD 623 miliar. Kini para pedagang di pasar memiliki kekuatan 2:1 terhadap bank sentral (hlm 58). Selain pasar uang, 200 korporasi papan atas dunia menguasai 28 persen aktivitas perekonomian global. Sebanyak 500 korporasi papan atas mengendalikan 70 persen perdagangan dunia dan 1.000 korporasi papan atas mengontrol lebih dari 80 persen hasil industri dunia (hlm 88).

Jumlah MNC dari tahun ke tahun terus bertambah. Pada 1988 tercatat 18.500 MNC. Belum sampai 10 tahun, angkanya sudah melambung menjadi 59.902. Pada 2000 jumlah MNC telah mencapai 63.000 (hlm 100). Penulis mengidentifikasi beberapa kebijakan nasional sejalan dengan agenda globalisasi. Misalnya, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 2005/2007 tentang Penanaman Modal Asing, dan UU No 25/2007 tentang Badan Hukum Pendidikan. Begitu pula penguasaan aset ekonomi dan kekayaan alam oleh asing kian bertambah. Saham bank-bank utama di Indonesia (23 buah) kini telah dikuasai bank-bank asing hingga 44,5 persen lebih. Kekayaan alam berupa minyak, tembaga, dan nikel dikuasai korporasi multinasional seperti Exxon, Chevron, Freeport, dan Newmont. Ironisnya, Indonesia membuka pasarnya lebar-lebar untuk produk-produk seperti daging sapi, susu, kedelai, bawang putih, tebu, buah-buahan, dan garam (hlm 133-134). Dengan kekuatan ekonominya, MNC mampu mengadu negara satu dengan negara lain, politikus satu dengan politikus lain, memilih mana yang memberikan syarat-syarat lebih ringan. MNC mendatangi kepala-kepala pemerintahan, menawarkan lapangan pekerjaan, investasi di bidang infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi. MNC akan melihat pemerintah mana yang mampu memberikan penawaran tertinggi. Jika sebuah negara menetapkan upah buruh tinggi, pajak yang tinggi atau syarat-syarat ketat dalam mendirikan pabrik, MNC akan ”mengancam” hengkang dari negara tersebut (hlm 62-63). Globalisasi merugikan rakyat kelas bawah. Kepentingan MNC yang menekan upah akan merugikan kalangan kaum pekerja. Kepentingan MNC membayar pajak serendah-rendahnya akan mengurangi pendapatan negara. Selanjutnya, kemampuan pemerintah memberikan tunjangan sosial bagi rakyat kelas bawah jadi berkurang. Dampak globalisasi bagi demokrasi sangat memprihatinkan. Persoalannya, kepada siapa sesungguhnya pemimpin negara itu mengabdi? Noreena Hertz mengatakan, globalisasi ekonomi menjadi lonceng ”kematian demokrasi”. Pasalnya, hasil akhir kebijakan negara cenderung menguntungkan kelompok dominan (kaum kapitalis). Para pemimpin politik yang dipilih rakyat ternyata sibuk melayani pelaku bisnis global daripada rakyat yang memilihnya. Gejala itu tidak berarti sistem demokrasi telah mati.

Partai politik tetap eksis. Pemilu reguler tetap terselenggara. Pers relatif bebas dan seterusnya. Namun, semua itu hanya kamuflase atau pertunjukan teater saja. Di balik semua itu, yang terjadi sesungguhnya pertarungan antarkapitalis. Partai-partai mengadakan deal dengan para kapitalis. Kemenangan sebuah partai pada akhirnya adalah kemenangan kelompok kapitalis tertentu. Buku ini memberikan wacana alternatif tentang negara di tengah hiruk-pikuk demokrasi dan globalisasi yang kian menderu-deru. 

*Yudistira Adnyana, Dosen FISIP Universitas Ngurah Rai, Denpasar Sumber: Jawa Pos, Minggu, 5 September 2010