Wednesday, 8 April 2009

Golput anak kandung ORBA

Ariel Heryanto
Pengamat politik
Agak mencengangkan, juga mengecewakan, jika hari begini orang masih bicara tentang "Golput" dengan semangat kepahlawanan menggebu. Ja­ngan-jangan ini merupakan salah satu bukti ma­cetnya kesadaran sejarah dan daya kreatif berbahasa di kalangan mereka yang merasa bersikap kritis dan progresif. Niat baik memperbaiki politik negeri ini butuh bahasa yang sepadan.

Sebagai anak kandung Orde Baru, istilah Golput mengemban beban sejarah yang sudah kelewat kedaluwarsa. Istilah itu masih bersaudara kandung dengan istilah bermasalah ciptaan Orde Baru seperti "bersih lingkungan", "Orde Lama", "gerakan pengacau keamanan", "G30S-PKI" atau "nonpribumi".

Kesadaran kritis di kalangan masyarakat terhadap Pemilu 2009 layak dihargai. Jika ada yang mau memboikot, itu sah-sah saja. Tapi alangkah eloknya jika semangat seperti itu dinyatakan dengan istilah yang lebih pas dan teliti ketimbang "Golput". Tampaknya sebagian tidak kecil dari mereka masih punya ikatan batin dengan bahasa politik Orde Baru sebagai "bahasa ibu" mereka. Ketika bergulat dalam realitas masa kini, lewat sepuluh tahun sesudah bangkrutnya rezim militer itu, mereka terbata-bata dalam logat Orde Baru.

Memang benar pada awal kebangkit­annya, hampir 40 tahun lalu, Golput me­rupakan pembangkangan yang heroik terhadap Orde Baru. Namun setiap pembangkangan merupakan anak kandung zamannya. Dan zaman itu dikuasai pihak yang digugat, bukan saja secara politik, hukum, atau militer, melainkan juga berbahasa.

Ceritanya begini. Nama Golput jelas-jelas dipinjam dari istilah Golkar yang waktu itu menjadi partai pe­nguasa. Jadi, walau ingin tampil sebagai lawan Golkar, cara berpikir dan berbahasa kaum Golput masih tidak terlepas jika bukannya bersaudara dengan Golkar dalam keluarga besar Orde Baru. Pertikaian mereka ibarat Pandawa dan Kurawa dalam keluarga besar Bharata.

Pada zaman Orde Baru, semua partai politik menjadi boneka yang baju dalamnya diobok-obok penguasa. Bahkan dalam urusan gambar lambang, semua partai dituntut menggunakan tanda gambar baku yang ditetapkan penguasa, yakni lambang gambar bersegi lima.

Waktu mendeklarasikan kelahirannya sendiri, Golput secara patuh menggunakan tanda gambar yang sama: segi lima dengan warna sepenuhnya putih. Bukan cuma itu. Golkar hanya merasa perlu berkampanye lima tahun sekali. Golput? Idem ditto bin setali tiga uang. Golput hanya bangkit dan bersuara jika dan setelah Golkar berteriak. Ada bedanya Golput dulu dan Golput sekarang?

Sebagai sebuah pranata politik formal, Orde Baru secara resmi sudah mati. Tapi rohnya gentayangan di mana-mana. Juga dalam cara berbahasa. Sepuluh tahun lalu bendera dan berbagai lambang Golkar yang lain pernah dibakar massa di jalanan bersamaan dengan runtuhnya Orde Baru. Tapi dengan gesit para tokoh Golkar berganti baju. Dan dengan sedikit kosmetik, Golkar menampilkan diri dengan identitas sedikit lain. Hasilnya lumayan. Golkar bukan selamat dari ancaman pembantaian reformasi. Usia Golkar bahkan lebih panjang ketimbang Orde Baru. Golkar malahan tetap menjadi salah satu kekuatan politik terbesar pada masa pasca-Orde Baru.

Para aktivis anti-Orde Baru? Mereka ngos-ngosan. Se­perti aktivis di era 1960, mereka yang pernah aktif di dekade 1990 sudah bergabung menjadi penggembira kubu para politikus yang dulu pernah menculik dan menyiksanya pada zaman Orde Baru. Sebagian aktivis lain yang tetap berada di luar struktur politik partai formal masih berkutat pada pikiran dan berbahasa pada tahun 1970-an: ber-Golput ria!

Pada masa kelahirannya Golput tampil sebagai konfrontasi simbolik terhadap Golkar yang menduduki tempat paling tinggi dalam kerucut politik Orde Baru. Waktu itu, selama 30 tahun, setiap pemilihan umum selalu mutlak dimenangi Golkar. Melawan Golkar berarti melawan jantung perpolitikan. Sekarang Golkar sudah tidak lagi sehebat itu. Agak mubazir jika pembangkangan ter­hadap politik masa kini, dan Pemilu 2009 khususnya, tetap dinyatakan dalam bahasa 70-an.

Pranata politik kita masa ini—khususnya di sekitar legislatif—bukan tanpa masalah. Pemilihan umum tetap diperlukan. Sayangnya, seandainya berjalan serba lancar pun pemilu tahun ini tidak menjamin akan terciptanya legislatif yang jauh lebih baik. Tapi masalah politik kita pada masa ini jelas berbeda dari masalah politik sepuluh tahun lalu ketika Orde Baru ambruk. Apalagi jika dibandingkan dengan kondisi 40 tahun lalu, ketika Golput dibangkitkan. Obat yang dibutuhkan untuk mengobatinya jelas berbeda.

Sebuah istilah yang lebih tepat selain Golput dibutuhkan untuk menyatakan keresahan dan kekecewaan masyarakat terhadap hiruk-pikuk politik Indonesia pada umumnya, dan Pemilu 2009 pada khususnya. Tapi kita terbata-bata dalam bertutur politik. Sama halnya ketika demonstran di jalanan bernyanyi. Dari zaman dulu masih saja tetap Halo-halo Bandung dan Maju Tak Gentar.

Golput lahir dari sebuah masa ketika yang "putih" dianggap suci dan murni. Apa yang "hitam" mengacu pada mereka yang dianggap kotor, bermasalah, korup, dan buruk. Mungkin ini sebabnya bintang film kita masih bertampang kebule-bulean. Dan krim pemutih kulit masih laris di toko-toko.