Eceng Gondok sebagai organisme yang 'baik' membantu ataupun yang mengganggu bergantung pada pemahaman/cara melihat manusia. Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) di sunagai Musi kemungkinan bertambah jumlahnya disebabkan peningkatan pasokan makanan(contoh: bocoran urea dari sawah) ataupun kegiatan pertanian berbasis industri lainnya.
Dilihat dari kemampuannya untuk menutup permukaan sungai, mengurangi kecepatan alir dan menurunkan jumlah oksigen dalam air sungai - Eceng memang mengkhawatirkan apalagi bila kemampuan produksi listrik PLN Sumsel terkena efek negatif Eceng yang berujung pada menurunnya tingkat pertumbuhan pembangunan ekonomi daerah ini.
Namun demikian ada hal positif yang perlu diketahui selain melihat Eceng sebagai sumberdaya alam musiman yang memiliki nilai ekonomis. Berikut adalah fungsi ekologis tanaman akuatik ini: mampu menyerap logam berat beracun (seperti mercury, cyanide, Pb dll), sehingga dapat dipakai dalam industri pertambangan emas. Eceng biasanya subur pertumbuhannya dilokasi dimana terjadi ketidak-seimbangan ekologis yang dimotori oleh aktifitas manusia.
EKONOMI RAKYAT
Eceng Gondok, Berkah Baru di Sungai Musi...
Senin, 8 Maret 2010 | 03:16 WIB
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Dengan menggunakan rakit, warga melintasi eceng gondok yang memenuhi Sungai Air Lanang di Desa Surau Bali, Kecamatan Ujan Mas, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, Senin (15/2). Untuk mengurangi eceng gondok di lokasi tersebut, pihak PLTA Musi melatih warga sekitar mengolah tanaman tersebut menjadi pupuk kompos.
Siang itu sangat terik saat kami berdiri di atas Jembatan Air Lanang. Di Air Lanang, anak Sungai Musi itu, sampan meliuk-liuk menghindari ”pulau-pulau” eceng gondok.
Tiga tahun lalu, eceng gondok belum merajalela seperti sekarang. Tanpa pengendalian, eceng gondok mengancam Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi.
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) tak hanya ada di Air Lanang. Menyusuri Air Lanang hingga pertemuan dengan Sungai Musi, eceng gondok terlihat memenuhi badan Sungai Musi. Eceng gondok juga ada di Air Pekat dan Air Tanjung Alam, keduanya anak Sungai Musi.
Lonjakan populasi eceng gondok di sisi hulu PLTA Musi di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, terjadi setelah hulu Sungai Musi diterjang banjir bandang pada September 2008. Pestisida yang terbawa banjir ikut menyuburkan eceng gondok
”Salah seorang pegawai PLTA Musi yang beratnya hampir 100 kilogram bahkan dapat berjalan di atas pulau eceng gondok itu,” kata Asep, pegawai PLTA Musi. Ketebalan ”pulau” eceng gondok mencapai 0,2 meter. Jalinan antareceng gondok memperkuat pulau-pulau itu.
Pendangkalan
Pulau-pulau eceng gondok juga dapat menyebabkan pendangkalan sungai. Lantas, arus Sungai Musi juga melambat meski hari-hari ini Rejang Lebong dan Kepahiang diguyur hujan lebat berhari-hari. Tentu saja, menyulitkan transportasi sungai.
Di mata Heri Priambodo, Manajer PT PLN (Persero) yang memimpin PLTA Musi, lonjakan eceng gondok sangat menakutkan. Bila eceng gondok masuk intake turbin, pembangkit 3 x 70 megawatt pun macet. Efeknya, dapat mengancam pasokan listrik dan berpotensi memacetkan perekonomian warga.
Tahun 2008, dihabiskan dana Rp 99,98 juta hanya untuk mengangkat eceng gondok dengan manusia dan alat berat. Itu jelas sebuah inefisiensi bila tak dicari pemecahannya.
PLTA Musi pun berupaya mentransformasi eceng gondok di sungai itu dari beban menjadi berkah. Masyarakat dilatih mengolah eceng gondok menjadi produk yang dapat dijual.
Kini, bagi Edi Suwardi, yang telah ”dicerahkan” oleh pelatihan PLTA Musi, eceng gondok di Air Lanang tak lagi sekadar gulma. Di mata Edi, hamparan eceng gondok adalah tambang ”emas hijau” yang siap dituai.
Empat puluh warga Desa Bumi Sari, Kecamatan Ujan Mas, Kepahiang, bersama Edi pun kini mendirikan Rumah Kompos Sumber Sari. Tiap hari, diproduksi sekitar 15 ton pupuk kompos. Jadi, selain mendapat penghasilan dari kopi, jagung, dan tanaman produksi lainnya, tiap anggota Rumah Kompos itu mendapat tambahan pendapatan Rp 40.000 per hari.
Bagaimana cara mengolahnya?
Eceng gondok diangkat dari Sungai Musi dan anak-anak sungainya, lalu dipotong-potong, dan dijemur. Karena mengandalkan terik mentari, penjemuran eceng gondok ini dilakukan selama seminggu.
Lantas, eceng gondok kering itu dicampur. Komposisinya, 40 persen eceng gondok, 30 persen kotoran hewan, dan 30 persen sekam kopi.
Digunakannya sekam kopi karena Kepahiang merupakan salah satu sentra produksi kopi di Indonesia.
Campuran eceng gondok itu, lalu ditambahkan EM 4, gula pasir, dan air, kemudian didiamkan satu malam. Lantas selama 20 hari, difermentasi di bawah terpal plastik.
Bila kompos dipakai memupuk padi, kata Edi, hasilnya meningkat. ”Bila satu rumpun padi dipupuk anorganik menghasilkan 23 anakan, sedangkan dengan pupuk kompos eceng gondok dapat hingga 50 anakan,” kata Edi tersenyum lebar setengah berpromosi.
Pupuk organik eceng gondok juga dihargai Rp 1.130 per kilogram, lebih murah daripada pupuk urea senilai Rp 1.200 per kg. Harga pupuk kompos eceng gondok juga berpotensi lebih murah sebab tak butuh ongkos transportasi dari pabrik ke persawahan warga.
Soal ketersediaan bahan baku, perusahaan lokal di Bengkulu, CV Ayarha Global, menghitung, pada 19 Maret 2009, ada 14.400 ton eceng gondok di sungai-sungai di Kepahiang. Detik ini, jumlahnya pasti melimpah karena eceng gondok tumbuh dua kali lipat dalam 7-10 hari. Singkatnya, ada banyak bahan baku bila dibangun industri rumahan pupuk.
Bila ditargetkan produksi 100 ton pupuk kompos per bulan, cukup dibutuhkan 267 ton eceng gondok per bulan. Tanpa bertumbuh, 4,5 tahun diproduksi pun eceng gondok itu tak habis.
Pelatihan kreatif
Saat menyusuri Air Lanang menuju Sungai Musi, Kompas melintasi rumah-rumah warga. Di depan tiap rumah terdapat ”sanggah”, tempat menaruh dupa dan sesajen bagi orang Hindu.
Desa di tepi Musi itu bernama Suro Bali, permukiman transmigran asal Pulau Bali.
Bila di tangan orang Bali, kayu biasa dapat menjelma menjadi patung. Bisa jadi, di tangan warga Suro Bali, eceng-eceng gondok dapat disulap menjadi kursi, seperti di Cirebon, atau di Malang, eceng gondok diolah menjadi dompet atau tas.
Di Surabaya, ada Lembaga Pendidikan Terapan Masyarakat Griya Enceng Gondok, yang dapat dimintai bantuan untuk melatih warga Suro Bali.
Jadi, sebagaimana PLTA Musi membuka mata Rumah Kompos Sumber Sari di Desa Bumi Sari, yang dibutuhkan warga Suro Bali adalah pelatihan kreatif untuk mengolah eceng gondok.
Sejatinya, upaya melibatkan warga untuk ”memanen” dan mengolah eceng gondok adalah cara terbaik menjaga Sungai Musi dan keberlanjutan PLTA Musi sebagai pemanfaat sungai itu….
Sumber Kompas (HARYO DAMARDONO)