(picture taken from http://www.sbs.com.au/news/article/2014/06/30/study-shows-indonesias-rapid-deforestation)
[...]Saya coba menyusun keping-keping program lingkungan pasangan Jokowi - JK yang berserakan tersebut.
1. Menegakkan
hukum lingkungan secara konsekuen tanpa pandang bulu dan tanpa khawatir
kehilangan investor.
2. Menerapkan
kebijakan permanen bahwa negara berada pada titik kritis disebabkan kerusakan
lingkungan hidup.
3. Memfasilitasi
setiap warga negara supaya punya akses memiliki tanah sebagai tempat menetap
dan memperoleh penghidupan layak.
4. Mendorong
reformasi pertanahan melalui penyempurnaan UU Pokok Agraria.
5. Membuat
pengaturan jelas untuk mekanisme penyelesaian sengketa tanah dengan
memperhatikan hukum adat.
6. Menginisiasi
perangkat hukum khusus dengan satuan tugas khusus untuk menindak pelanggaran
yang berkaitan dengan illegal logging, illegal fishing, dan illegal mining.
7. Meningkatkan
kerja sama internasional untuk mencegah aktivitas ilegal di Indonesia dibawa ke
luar negeri dan sebaliknya.
Sementara program lingkungan pasangan Prabowo-Hatta yang terumuskan adalah sebagai berikut:
1. Memulai
reboisasi 77 juta hektare hutan yang rusak.
2. Menindak tegas
pelaku pencemaran lingkungan dan melindungi keanekaragaman hayati.
3. Melaksanakan
penanaman pohon penghasil kayu secara individu atau kolektif maksimal 5
hektare.
4. Mendorong
semua usaha kehutanan dan produk turunannya mendapat sertifikasi yang diterima
pasar global.
5. Mensyaratkan
kontribusi pembangunan hutan kota.
6. Merehabilitasi
daerah aliran sungai dan sumber air.
7. Mendorong
usaha batu bara, nikel, tembaga, bauksit, dan besi menjadi pertambangan yang ramah
lingkungan dan sosial.
8. Berperan aktif
dalam upaya mengatasi perubahan iklim global.
Dari program lingkungan kedua pasangan capres tersebut di atas, yang paling jelas terlihat adalah eksistensi manusia, dalam hal ini kelompok manusia yang berada dilingkaran sebuah ekosistem (baca: lingkungan). Dalam program lingkungan pasangan Prabowo - Hatta, nyaris tak ada tempat bagi eksistensi manusia. Misalnya eksistensi masyarakat adat dan komunitas-komunitas lokal disekitar kawasan hutan. Peran masyarakat adat atau komunitas lokal dinegasikan, bisa dianggap tidak ada, atau tidak dilibatkan dalam praktek-praktek pengelolaan lingkungan seperti yang tertuang dalam delapan poin program lingkungan hidup mereka. Inilah model pengelolaan lingkungan Eco fascism atau faham fasis konservasi lingkungan.
Dikutip dari blog saudara Jopi Peranginangin, Friday, May 30, 2014, berjudul: Semangat Eco Fascism vs Eco Populism Dalam Program Lingkungan Capres