Saturday, 15 October 2005

Militan

Minggu, 09 Oktober 2005

ASAL USUL

Ariel Heryanto

Militansi tidak sama dengan militerisme. Tapi banyak persamaan dan kaitannya. Seperti juga premanisme, keduanya berkembang-biak di berbagai wilayah perang. Juga di negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin yang pernah dikuasai oleh pemerintahan militer.

Mengatasnamakan agama sebagian militan menyerang pusat keramaian publik sekuler yang dianggap musuh atau maksiat walau tak ada perang. Di tempat lain militansi mendorong ribuan orang untuk menyerang rekan sebangsa setanah air gara-gara perbedaan agama.

Seperti pasukan tempur dalam perang, kaum militan dilatih, disenjatai, dan dihormati untuk menghancurkan musuh tanpa pertimbangan moral universal, penalaran secara kritis, atau solidaritas kemanusiaan global. Semua nilai yang disucikan Pancasila itu dianggap beban kecengengan yang harus dibersihkan dalam batin militan selama mereka dilatih.

Militanisme tidak baru dalam sejarah bangsa kita. Dan jelas bukan monopoli prajurit atau kaum beragama. Bulan lalu Jakarta terusik pendukung kesebelasan sepak bola dari daerah yang dibilang bonek (bondo nekat, istilah Jawa artinya bermodal nekat atau asal nekat). Kaum bonek berwatak militan dalam membela tim kesayangannya. Gara-gara mereka sekuler, miskin, dan dari kelas bawah, mereka tidak digubris kaum militan parlente.

Tapi ada kaum militan lain yang lebih dahsyat dalam sejarah Indonesia, bukan berasal dari militer maupun kelompok agama: yakni kaum komunis. Setengah abad lalu, komunis merupakan musuh bersama militer dan militan agama di Indonesia. Ironisnya, musuh bersama ini juga rekan sebangsa-setanah air, bahkan rekan seperjuangan kemerdekaan pada dekade sebelumnya.

Soal itu sudah banyak diketahui khalayak. Yang jarang mereka ketahui: di masa jayanya, Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Republik Rakyat China dan Uni Soviet. Waktu itu lebih dari separuh umat manusia hidup di bawah pemerintahan negara yang resminya berasaskan komunisme atau sosialisme. Selama abad ke-20 tidak ada isme lain yang sehebat itu. Aneh kalau ada mahasiswa masa kini yang belajar tentang sejarah masyarakat abad ke-20 tetapi tidak diberi kuliah tentang Marxisme atau Komunisme. Mereka sama malangnya dengan mahasiswa yang belajar Indonesia tanpa diajar tentang militerisme dan militanisme.

Seperti kelompok militer dan agama, kalangan komunis punya pendukung militan, selain yang sudah dicerahkan (atau ”tercemar” tergantung menurut siapa) watak intelektual, nasionalis, atau humanis.

Sejak rontoknya Orde Baru, terjadi kekerasan swasta terhadap orang, tempat, dan lambang-lambang yang berkait dengan kejayaan Amerika Serikat, liberalisme dan kapitalisme dunia. Ada kelab malam, pusat judi, bar atau karaoke yang diobrak-abrik. Bahkan dibom. Ada hotel di-sweeping, ada sekolah atau media massa diancam atas nama agama juga.

Agar orang tidak keburu mencurigai agama yang dibela kaum militan ini, ada baiknya kita ingat bahwa tindakan seperti itu sudah dikerjakan militan komunis Indonesia di tahun 1960-an. Seperti yang terjadi belakangan, setengah abad lalu Kedutaan Besar Amerika juga diserbu demonstrasi dan bendera Amerika Serikat mereka bakar di jalan.

Pada dekade 1960-an militan agama bersekutu dengan militer dan Amerika Serikat untuk membantai komunisme. Ironisnya, setengah abad kemudian kaum militan agama meneruskan militanisme komunis dalam menghujat imperialisme Amerika dan kapitalisme dunia. Caranya pun tidak jauh berbeda. Andaikan komunis tidak dibantai, barangkali hari ini pun mereka sering demonstrasi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Inggris, atau Australia. Juga menyerang klub malam, perjudian atau pornografi.

Bagi sebagian pendukungnya, komunisme juga semacam agama. Perjuangan mereka disucikan. Seperti militan agama resmi, mereka tidak toleran pada kelompok yang tidak sealiran, walau seagama. Karena itu sesama militan sering bentrok.

Jadi radikalisme belakangan ini mungkin tidak perlu dikaji semata-mata sebagai kebangkitan agama tertentu. Mungkin lebih tepat ini dipahami sebagai kebangkitan kembali militanisme, premanisme, bonekisme yang sudah berabad-abad usianya di Nusantara. Cuma slogan dan bajunya berganti.

Hari-hari ini militanisme itu berbaju agama. Bulan lalu bajunya pakai logo tim sepak bola. Beberapa dekade lalu berbaju loreng. Setengah abad lalu bajunya komunis dan antiagama. Hakikat mereka tidak banyak beda. Gara-gara beda baju, sesama militan siap berbaku-bunuh.

Jangan-jangan itulah sebagian (untung hanya sebagian) dari watak dan jatidiri bangsa kita. Resminya Pancasila punya lima pokok yang serba bagus dan mulia. Tapi dalam kenyataan hidup sehari-hari militanisme dan bonek menjadi sila pertama, kedua atau ketiga.

Korupsi ada di semua negara. Yang menakjubkan banyak orang asing: korupsi di Indonesia sejak Orde Baru adalah skalanya, blak-blakannya, nekadnya. Ikut pemilu dan masuk parlemen jelas butuh kenekatan tertentu, di samping modal koneksi. Misalnya nekat memalsukan ijazah. Sesudah masuk parlemen, perlu nekat ikut studi-banding ke pusat-pusat konsumerisme dunia, biar rakyat memaki-maki. Apalagi dalam soal kenaikan gaji.

Naik pesawat terbang butuh kenekatan tertentu. Bukan saja banyak kecelakaan pesawat. Paling sedikit satu warga negara terbaik kita yang dibunuh secara terencana rapi ketika diberi hidangan di dalam penerbangan. Mungkin dia bukan satu-satunya korban.

Naik taksi di Jakarta, khususnya bagi perempuan, membutuhkan kenekatan ala bonek. Tanpa keberanian gila, sulit bagi seorang pejalan kaki untuk menyeberang jalan di kota-kota besar Indonesia walau menggunakan jalur penyeberangan bergaris zebra. Perlu nekat untuk sembahyang bagi sebagian minoritas di Jakarta. Perlu nekat bagi yang lain untuk cari nafkah. Perlu nekat untuk cari kerja dan sekolah.

Untung Indonesia juga punya watak-watak lain yang patut dibanggakan dan layak diharapkan melawan gejala itu. Melawan semua itu juga dibutuhkan keberanian. Ini berbeda dari militansi dan asal nekat.

Sumber: Kompas