Sunday, 7 December 2025

Arsitektur Modern dan Vernakular (bag.2)

Ketika Arsitektur dan Kota Tidak Lagi Mendengarkan Alam [dalam konteks Banjir Besar Sumatra]


Bencana banjir besar 2025 yang baru saja terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akhir tahun ini bukan hanya persoalan cuaca ekstrem atau curah hujan yang meningkat. Itu juga merupakan cermin gagalnya hubungan antara manusia, ruang hidup, dan alam.

Kita membangun kota dan rumah seolah-olah sungai, tanah, dan ekosistem hanya latar — bukan makhluk hidup yang juga punya hukum, ritme, musim dan siklus.

Arsitektur dan perencanaan modern sering mengasumsikan bahwa teknologi mampu mengatasi segalanya:

  • sungai bisa diluruskan, 
  • rawa bisa ditimbun, 
  • air bisa “dipaksa” keluar lewat drainase beton.
  • Tetapi air tidak pernah lupa jalan pulangnya.


Dari Rumah Panggung ke Rumah Beton[industri] Berstruktur Kaku

Di Sumatera — terutama Aceh dan Minangkabau — arsitektur tradisional [vernakular] sejak ratusan tahun lalu telah paham cara hidup di tanah rawan banjir, gempa, dan perubahan alam.

Rumah adat yang tepat guna:

  • dibangun panggung agar banjir tidak mengganggu aktivitas manusia,
  • memiliki struktur kayu elastis untuk gempa,
  • menyisakan ruang bagi aliran air, angin, dan makhluk lain yang berbagi habitat.
  • Bahan bangunannya bernapas — bukan kedap seperti beton.


Ketika pola lama ini ditinggalkan, dan diganti dengan 'rumah-gedong' [beton]:

  • bangunan massif berbahan beton,
  • dinding dan lantai kedap air,
  • fondasi yang mengunci tanah,
  • halaman yang disemen penuh,
  • maka kemampuan alam menyerap air hilang. 


Rumah tidak lagi adaptif — ia melawan situasi ekologis.


Urbanisasi: Ketika Ruang Hijau Menyusut dan Air Kehilangan Jalan

Banjir bukan hanya karena hujan. Ia terjadi ketika:

  • resapan hilang,
  • sungai disempitkan,
  • rawa dikonversi menjadi perumahan,
  • beton menggantikan tanah.

Setiap taman yang ditutup di-aspal, di-paving, di-semen, setiap sungai yang dipersempit demi jalan, setiap bukit yang dipapas untuk cluster perumahan adalah keputusan desain yang memindahkan air — bukan mengelolanya.

Dan semua air yang tidak lagi diserap akan kembali dalam bentuk banjir.

Air tidak pernah balas dendam — air hanya mengingat gravitasi.


Pelajaran dari Ekologi Arsitektur

Peristiwa banjir terbaru memberi pesan jelas:

Arsitektur yang tidak memahami ekologi akan menghasilkan ruang hidup yang rentan dan rapuh.

Kita tidak bisa lagi hanya membangun yang indah di brosur — kita perlu membangun yang selaras dengan konteks bumi.

Pendekatan arsitektur masa depan, terutama di wilayah rawan bencana seperti Sumatera, harus bergeser dari Paradigma Lama mengalahkan alam ke Paradigma Baru yang ramah lingkungan dan ber-basis ekologi:

  • Mengontrol alam Berkolaborasi dengan alam 
  • Beton di atas semuanya ke Material alami dan sistem campuran 
  • Rumah untuk estetika visual ke Rumah sebagai ekosistem 
  • Drainase buatan ke Sistem air berbasis lanskap dan resapan 
  • Pengembangan lahan maksimum ke Ruang hijau fungsional dan sungai hidup


Kesimpulan Bagian Ini

Banjir Aceh, Sumut, dan Sumbar bukan hanya tragedi alam — ia adalah pesan arsitektural.

Kita telah membangun ruang tanpa mendengarkan sejarah geologi, budaya lokal, dan ritme air. Kini saatnya bertanya ulang:

Apakah kita ingin arsitektur yang berkuasa atas alam, atau arsitektur yang menjadi bagian dari sistem kehidupan yang lebih besar?

Karena pada akhirnya, alam tidak pernah kalah — yang kalah adalah mereka yang lupa bahwa mereka hidup di dalamnya. 

*ditulis berkolaborasi AI

#BanjirSumatra #RumahRamahAlam #vernakular