Sunday, 7 December 2025

Arsitektur Modern dan Vernakular

Mengapa Banyak Arsitektur Modern Terlihat “Keras” dan Dominan?

Ketika kita berjalan di kota modern, banyak bangunan terasa besar, tegas, dan kadang-kadang seperti ingin “menguasai” ruang. Bentuknya ber-sudut angular, permukaannya datar, fasadnya dingin. Secara psikologis, bangunan seperti ini sering memunculkan kesan agresif, keras, atau tidak ramah.

Sebaliknya, ketika kita berada di kampung, desa tradisional, atau lingkungan lama yang masih memakai material alami—bambu, kayu, tanah—ruang terasa lebih hangat, lembut, berskala manusia, seringkali ergonomis, dan menyatu dengan alam.

Mengapa kedua dunia ini begitu berbeda?

1. Filosofi: Mengendalikan Alam vs Hidup Bersama Alam

Arsitektur vernakular (tradisional) muncul dari kondisi lokal: iklim, tanah, budaya, kebutuhan sosial, dan ekologi.

Bangunan seperti rumah gadang, rumah panggung Melayu, joglo Jawa, atau rumah adat Minang dirancang untuk:

  • mengikuti arah angin,
  • menghadapi hujan lebat atau banjir,
  • memberi ruang bagi manusia dan ekosistem (serangga, binatang kecil, tanah yang bernapas).

Sementara itu, arsitektur modern lahir dari revolusi industri dan teknologi. Paradigmanya berubah:

“Jika alam tak cocok, maka teknologi akan memaksanya.”

Di sini, arsitektur modern cenderung melihat alam sebagai tantangan, bukan mitra.

2. Material Mengubah Bahasa Visual

Material bukan sekadar bahan — ia memengaruhi rasa dan persepsi.

Jenis Material Contoh Kesan Estetik & Psikologis

Alami Kayu, bambu, tanah liat, batu lokal Hangat, bersahabat, terhubung dengan alam Industri/modern Beton, baja, kaca industri Kuat, efisien, monumental, dingin

Material modern memungkinkan ketinggian, bentangan lebar, dan presisi. Tapi skala inilah yang membuat banyak bangunan modern terasa mengintimidasi, bukan mengundang.

3. Bentuk dan Proporsi

Arsitektur tradisional mengikuti proporsi tubuh manusia. Tinggi ruang, bukaan jendela, kemiringan atap — semuanya terasa pas.

Arsitektur modern, sebaliknya, banyak mengadopsi:

  • garis lurus keras,
  • geometris tegas,
  • sudut tajam,
  • volume besar.

Secara evolusioner, manusia cenderung lebih nyaman pada bentuk organik dan lengkung (seperti alam). Bentuk sudut tajam kadang dibaca otak sebagai tanda bahaya.

4. Ekonomi: Kecepatan dan Efisiensi Mengalahkan Kepekaan

Dunia modern bergerak cepat. Developer mengejar:

  • biaya minimal,
  • durasi konstruksi singkat,
  • volume tinggi.

Nilai budaya, kenyamanan emosional, dan harmoni ekologis sering muncul paling akhir — kalau sempat.

Hasilnya: banyak bangunan modern lebih menyerupai produk industri, bukan ekspresi tempat dan makna.

5. Arsitektur Modern Sebagai Simbol Kekuasaan

Dalam banyak kota, bangunan modern menjadi:

  • branding,
  • ikon,
  • tanda kemajuan,
  • bahkan pernyataan status.

Peran bangunan berubah dari rumah bagi kehidupan menjadi objek untuk dilihat dan dikagumi.

Beberapa bangunan hari ini tidak dirancang untuk “dirasakan”, hanya untuk “dipamerkan”.


Apakah Kedua Dunia Ini Mungkin Berkolaborasi?

Jawabannya: sangat mungkin — dan semakin diperlukan.

Kita mulai melihat pendekatan baru:

  • Arsitektur hijau,
  • biophilic design,
  • passive design,
  • bangunan karbon negatif,
  • repurpose, reuse, rehabilitation 
  • rekonstruksi material lokal dalam sistem modern.

Alih-alih memilih satu kubu, pertanyaannya menjadi:

“Bagaimana teknologi modern dapat memperkuat kearifan lokal, bukan menggantikannya?”

Bukan tradisi versus modernitas, melainkan co-evolution.


Penutup

Perbedaan antara arsitektur modern dan vernakular bukan sekadar perbedaan bentuk — tetapi perbedaan cara melihat dunia.

Yang satu dibangun dari logika:

“Kita harus menguasai dan mengontrol.”

Yang lain tumbuh dari pemahaman:

“Kita adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar.”

Mungkin masa depan bukan bangunan yang lebih tinggi atau lebih besar — tetapi bangunan yang lebih bijaksana.